Saya: Sunni, Syi'i, Mu'tazili

Saya pernah bilang bahwa saya:
- secara spiritual: sunni,
- secara kultural:  syi'i,
- secara idelogis: mu'tazili.

Pernyataan ini dari mana juga agak aneh: (1) mengapa beberapa denominasi/garis Islam yang macam-macam saya [sok] sematkan ke diri saya sendiri sementara ada yang punya penafsiran bahwa beragama itu kudu totalitas (red, kaffah). 

Agama itu, kompleks. 

Saat ditanya Pak Suhe, "Apa artinya [dari pernyataan saya tersebut]?"; saya sambil setengah bingung sendiri jawab bahwa bentuk Islam itu macam-macam, beragam, dan bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Saya yakin betul bahwa Islam (dan agama apapun juga) itu dinamis, tidak monolitik, multi-faceted, dan pengejawantahannya dalam bentuk kemanusiaan selalu terikat dengan faktor kebudayaan yang lain di masyarakat tersebut.

Keanehan yang lain (2) bisa ditarik dari trikotomi Islam di akhir era khilafah Rasyidin: pergolakan politik di Arab saat itu saat Perang Saudara Islam pertama yang ada: Sunni, Syi'i, dan Khawarij. Sementara Mu'tazili biasanya diseterakan dengan Ash'ari, Atsari, Maturidi sebagai yang perbedaannya lebih ke pemahaman ke-Tuhanan (bahasan keakidahan utamanya tentang personifikasi Tuhan, Quran, dan dosa). Trikotomi sunni-syi'i-khawarij lebih bernuansa politis, utamanya saat tampuk konfederasi Arab Islam saat itu pecah: Muawiyah-Alid-Fatimid.

Karena Mu'tazili tidak banyak memiliki konsekuensi politis ketimbang Khawarij.

Walau عزل dan خرج  sama-sama punya kesan anti-mainstream atau non-konformis, Mu'tazili bermain di filsafat ketuhanan dibandingkan gerakan politik praktis. Ada yang bilang bahwa filsafat arus ini terinspirasi gaya Yunani kuno. Guess what, Arab pra-Islam dengan latta-uzza-manah-ghubal ini juga padanan sinkretis dewa/dewi Greko-Roman. Lingkungan munculnya Islam saat itu juga tidak terlepas dari budaya di sektiarnya.

Saat ditanya lagi apakah saya muslim? Jawab saya: tidak yakin. Sejatinya saya yakin betul bahwa saya dibesarkan di lingkungan sosio-kultural Islam Indonesia: baris agama di KTP saya bertuliskan Islam, nikah saya dicatat di KUA Lowokwaru di arsip bagian Islam, saya masih nglubak-glubuk shalat; tapi sejatinya saya ndak yakin apa benar saya sudah mencukupi batas ambang minimal klasifikasi kita sebagai "muslim" sesuai di deskripsi di Quran. Kalau Pak Amin bilang, cukuplah kita disebut orang Islam.

Rasanya ndak sedikit orang-orang yang disemati identitas sebagai orang Islam juga punya pendekatan yang sedikit-banyak bersamaan dengan pandanagan saya tentang Islam. Kan, ya?

Sampai sini, beragama itu bukan tentang menentukan demarkasi lingkup sosio-kultur-spiritual; kadang beragama itu sekadar cukup bagaimana falsafah dan identitas yang tersematkan ke diri kita menjadikan manusia yang compassionate, beneficent, dan merciful.

PS: di hari Rabu pertama waktu saya SD, di kelas yang disebut Penanaman Akidah Pagi, hadits yang dibahas: النظافة من الإيمان yang punya sanad lebih syi'i ketimbang sunni.

apa kita perlu Tuhan?

Diskusi Noel dan Rifan ini rasanya relevan buat beragam orang, Boy.

Keterbatasan pendekatan empiris/ilmiah terhadap Tuhan menyebabkan beberapa orang yang tidak bisa menggapai [konsep] Tuhan. Tuhan selama ini kita hanya dekati melalui bentuk sastra, ketokohan, iman, dan nilai-nilai kemanusiaan (seperti yang Rifan contohkan).
 
Narasi surga dan neraka, walau dapat kita temukan dalam kanon berbagai agama, masih belum ada bukti persaksian yang cross-verifiable: makhluk-makhluk di surga-neraka dan tidak di surga-neraka bisa saling berinteraksi secara reliably dan repeatably. Kalaupun ada yang katanya bisa, kadang kita labeli klenik, dukun, supranatural, wali, dan lainnya.

Secara praktis kita bisa saja menjadi orang yang baik, rukun, etis, harmonis, kinyis-kinyis tanpa berpegang pada konsep-konsep di sekitar ketuhanan dan dogma-dogma lain dalam lingkup agama. Tapi tidak bisa dipungkiri juga, agama --sebagai kompilasi budaya kemanusiaan-- memberikan kerangka bertindak yang good enough.

Yah, namanya juga agama itu diemban dengan iman. Yang hendak beragama, beralih agama, atau mengukuhkan [kembali] agamanya, tentunya ada rasa bergolak naik-turunnya iman. Kalaupun Tuhan tidak terjelaskan buat kita, rasanya beriman kepada kemanusiaan juga ndak buruk. Walau narasi agama saya bilang bahwa Tuhan adalah Raja Kemanusiaan juga :)