Zaman Politik Etis

Tulisan ini berawal dari janji yang tidak urung selesai, kecantol di benak tapi belum turun ke jari; sejak saya pinjam buku "Ulama dan Kekuasaan" karangan Pak Jajat Burhanudin dari Pak Bambang. Resensi yang lebih serius dan cendikia tentang buku ini bisa disimak di sini.

Tulisan ini merupakan terusan [kronologis] dari tulisan sebelumnya di blog PPI Hiroshima, Jepang. Saya begitu sadar hutang-hutang itu harus segera dibayar saat Alm. Kyai Agus Sunyoto sedha belum lama ini.. له الفاتحه

Zaman Politik Etis (bagian kedua)

Islam berkembang di Nusantara pada zaman kumpeni dengan pendekatan pemerintah yang berkesan okupasional: kongkalikong perusahaan konglomerasi multinasional dan pemerintah feodal setempat. Islam mendapat tempatnya sendiri sebagai identitas komunitas yang informal dan cenderung terpingirkan. Identitas agama disandarkan dalam dimensi spiritual dan ritusnya: dalam bentuk yang kanonik dengan sedikit-banyak juga terpengaruhi budaya lokal yang beraroma Hindu dan Budha. Aktivitas dan komunitas agama mencaplok tempatnya sendiri masing-masing tanpa banyak campur tangan pemerintah.

Perang Dunia Pertama membuat VOC, sebagai perpanjangan tangan Belanda, menderita kerugian finansial akibat dampak-dampak perang di teater Eropa: lesunya perdagangan dan seretnya logistik komoditas impor dari Nusantara. Ditambah dengan trauma psikologis atas perang, persepsi supremasi ras Kaukas atas Indo-Cina-Melanesian di Nusantara melalui aktivitas-aktivitas yang terinstitusi dan terorganisasi; hal ini menyebabkan pendekatan Belanda ke Nusantara mulai berubah dari okupasional (penjajahan) menjadi kolonial (persemakmuran). Pemerintah kolonial mulai melakukan politis yang bernada mari kita bikin tanah tropis yang sepoi-sepoi ini nyaman biar kita bisa santuy ndak runyam di Eropa, rangka kebijakan ini bukan serta-merta tentang balas budi (etis). Tapi membuat Nusantara nyaman juga membutuhkan lebih banyak pribumi harus mengerti sophistication of the European court yang diejawantahkan dalam bentuk pendidikan formal. Hal ini tentunya juga membawa perubahan ke aktivitas keagamaan.

Sekitar 1900-an, institusionalisasi berbagai aktivitas sosial, pendidikan dasar dan lanjutan, serta transportasi antar negara yang difasilitasi pemerintah kolonial dalam rangka Politik Etis membuat dinamika tentang aktivitas keagamaan Islam dan terbentuknya beberapa kubu yang muncul dari kelompok-kelompok orang Islam:

  • priyayi: tuan tanah, orang berpunya yang menggunakan kedudukan sosialnya untuk memperluas pengaruhnya juga dalam lingkup agama,
  • pengulu: elit agama yang diangkat oleh pemerintah kolonial untuk manajemen massa dan mencegah konflik yang berlatar belakang agama,
  • reformis yang membawa [kembali] budaya Islam dari semenanjung Arab setelah sekolah utamanya di Kairo, Mekkah, dan Yaman. Kelompok ini muncul dari priyayi yang dengan bekal [sosial dan ekonomi] bisa menempuh pendidikan agama dari lingkup yang berbeda, kemudian mengidentifikasi bentuk-bentuk akulturasi budaya yang dinilai sebagai penyelewengan aturan beragama atau paling tidak kekurangorthodoksan pelaksanaannya,
  • tradisionalis [dan sufis] yang berbasis pada pesantren yang biasanya agak masuk ke hutan, bersifat sedikit banyak aprehensif terhadap pemerintah kolonial yang di kemudian hari menjadi cikal bakal resistasi dalam perjuangan kemerdekaan.

Tak usahlah saya memberikan contoh dari masing-masing kelompok, beberapa tokoh besar saat itu bisa jadi muncul dari salah satu kelompok kemudian berpindah ke kelompok yang lain, saling berinteraksi, atau juga mengakomodasi beberapa kelompok Islam sekaligus.

Keberadaan beberapa kelompok ini menyebabkan dukungan masyarakat yang awam menjadi terpecah belah, sebagaimana strategi politis devide et impera yang melemahkan unit-unit masyarakat dan pemerintah muncul sebagai pemersatu, yang kadang inklusif tapi juga tidak jarang agak tiran. Intinya order (keberaturan) yang dibentuk menjadikan masyarakat sebagai subjek kekuasaan.

Dalam tataran kebudayaan Islam, keterpecahbelahan ini dapat dilihat dalam beberapa hal:

  • arah kiblat yang semakin akurat mengikuti peta navigasi berbasis peta dan kompas; bukan lagi kira-kira ke barat,
  • kajian kitab yang tidak melulu berbasis Jawi,
  • cendekia Islam yang mengungsi di luar negeri,
  • agen travel untuk keperluan haji yang ditunjuk oleh pemerintah, yang [kadang] bener kalau dibayar lebih dan [sering] abusif kalau dibayar sedikit,
  • titel Haji yang disematkan untuk orang yang pulang lepas dari Arab untuk menandai potensi individu tersebut dari beraktivitas yang mencerahkan masyarakat tapi merepotkan pemerintah.

Berbagai kisah dan anekdot bisa dicari tentang fenomena-fenomena di atas. Tiap kisah masing-masing berhak mendapat kajian mendalam. Tiap kisah membawa insight dengan aroma miris karena ke-subordinasi-an dan ketidakmandirian Islam di bawah pemerintah kolonial, yang bukan beragama Islam--Protestan juga abal-abal, yang menggunakan antropologi agama sebagai ranah kekuasaan bukan spiritual.

Tapi setidaknya, institusionalisasi dan akomodasi [parsial] atas aktivitas Islam ini membawa kesadaran elit umat atas kondisi Islam Nusantara dalam rangka global saat itu. Hal ini terus belanjut dan berkembang selama beberapa dekade hingga menjelang Perang Dunia kedua. Mendekati Perang Dunia kedua, aktivitas komunitas Islam semakin terarah ke pergerakan perang kemerdekaan.