One liner shell of the day : #44 (cari paket berisi file dependensi)

Ceritanya environment latex di komputer di lab baru (ubuntu) ndak lengkap, textcase.sty and endnotes.sty ndak ada.

Obatnya:

# apt-cache search textcase
# apt-cache search endnotes

Cewe cakep

Kalau aku nanti dikaruniai anak cewe, aku punya keinginan kalau dia sekolah Teknik Sipil keminatan Struktur. Biar bisa ngajari bapaknya, dan terlihat cakep pakai baju kerja.

Tapi apa kata nanti, hidup juga jalan masing-masing. Dia tentunya berhak menentukan bagaimana dia mau sekolah.

Derita Peneliti

Derita peneliti dengan budget yang pas-pasan itu:

Following the acquisition of  AP by SN, this journal has moved to SL. Please refer to the new journal homepage here for more information.

AP tahun lalu gratis, SL itu berbayar--mahal pulak.

Zaman Politik Etis

Tulisan ini berawal dari janji yang tidak urung selesai, kecantol di benak tapi belum turun ke jari; sejak saya pinjam buku "Ulama dan Kekuasaan" karangan Pak Jajat Burhanudin dari Pak Bambang. Resensi yang lebih serius dan cendikia tentang buku ini bisa disimak di sini.

Tulisan ini merupakan terusan [kronologis] dari tulisan sebelumnya di blog PPI Hiroshima, Jepang. Saya begitu sadar hutang-hutang itu harus segera dibayar saat Alm. Kyai Agus Sunyoto sedha belum lama ini.. له الفاتحه

Zaman Politik Etis (bagian kedua)

Islam berkembang di Nusantara pada zaman kumpeni dengan pendekatan pemerintah yang berkesan okupasional: kongkalikong perusahaan konglomerasi multinasional dan pemerintah feodal setempat. Islam mendapat tempatnya sendiri sebagai identitas komunitas yang informal dan cenderung terpingirkan. Identitas agama disandarkan dalam dimensi spiritual dan ritusnya: dalam bentuk yang kanonik dengan sedikit-banyak juga terpengaruhi budaya lokal yang beraroma Hindu dan Budha. Aktivitas dan komunitas agama mencaplok tempatnya sendiri masing-masing tanpa banyak campur tangan pemerintah.

Perang Dunia Pertama membuat VOC, sebagai perpanjangan tangan Belanda, menderita kerugian finansial akibat dampak-dampak perang di teater Eropa: lesunya perdagangan dan seretnya logistik komoditas impor dari Nusantara. Ditambah dengan trauma psikologis atas perang, persepsi supremasi ras Kaukas atas Indo-Cina-Melanesian di Nusantara melalui aktivitas-aktivitas yang terinstitusi dan terorganisasi; hal ini menyebabkan pendekatan Belanda ke Nusantara mulai berubah dari okupasional (penjajahan) menjadi kolonial (persemakmuran). Pemerintah kolonial mulai melakukan politis yang bernada mari kita bikin tanah tropis yang sepoi-sepoi ini nyaman biar kita bisa santuy ndak runyam di Eropa, rangka kebijakan ini bukan serta-merta tentang balas budi (etis). Tapi membuat Nusantara nyaman juga membutuhkan lebih banyak pribumi harus mengerti sophistication of the European court yang diejawantahkan dalam bentuk pendidikan formal. Hal ini tentunya juga membawa perubahan ke aktivitas keagamaan.

Sekitar 1900-an, institusionalisasi berbagai aktivitas sosial, pendidikan dasar dan lanjutan, serta transportasi antar negara yang difasilitasi pemerintah kolonial dalam rangka Politik Etis membuat dinamika tentang aktivitas keagamaan Islam dan terbentuknya beberapa kubu yang muncul dari kelompok-kelompok orang Islam:

  • priyayi: tuan tanah, orang berpunya yang menggunakan kedudukan sosialnya untuk memperluas pengaruhnya juga dalam lingkup agama,
  • pengulu: elit agama yang diangkat oleh pemerintah kolonial untuk manajemen massa dan mencegah konflik yang berlatar belakang agama,
  • reformis yang membawa [kembali] budaya Islam dari semenanjung Arab setelah sekolah utamanya di Kairo, Mekkah, dan Yaman. Kelompok ini muncul dari priyayi yang dengan bekal [sosial dan ekonomi] bisa menempuh pendidikan agama dari lingkup yang berbeda, kemudian mengidentifikasi bentuk-bentuk akulturasi budaya yang dinilai sebagai penyelewengan aturan beragama atau paling tidak kekurangorthodoksan pelaksanaannya,
  • tradisionalis [dan sufis] yang berbasis pada pesantren yang biasanya agak masuk ke hutan, bersifat sedikit banyak aprehensif terhadap pemerintah kolonial yang di kemudian hari menjadi cikal bakal resistasi dalam perjuangan kemerdekaan.

Tak usahlah saya memberikan contoh dari masing-masing kelompok, beberapa tokoh besar saat itu bisa jadi muncul dari salah satu kelompok kemudian berpindah ke kelompok yang lain, saling berinteraksi, atau juga mengakomodasi beberapa kelompok Islam sekaligus.

Keberadaan beberapa kelompok ini menyebabkan dukungan masyarakat yang awam menjadi terpecah belah, sebagaimana strategi politis devide et impera yang melemahkan unit-unit masyarakat dan pemerintah muncul sebagai pemersatu, yang kadang inklusif tapi juga tidak jarang agak tiran. Intinya order (keberaturan) yang dibentuk menjadikan masyarakat sebagai subjek kekuasaan.

Dalam tataran kebudayaan Islam, keterpecahbelahan ini dapat dilihat dalam beberapa hal:

  • arah kiblat yang semakin akurat mengikuti peta navigasi berbasis peta dan kompas; bukan lagi kira-kira ke barat,
  • kajian kitab yang tidak melulu berbasis Jawi,
  • cendekia Islam yang mengungsi di luar negeri,
  • agen travel untuk keperluan haji yang ditunjuk oleh pemerintah, yang [kadang] bener kalau dibayar lebih dan [sering] abusif kalau dibayar sedikit,
  • titel Haji yang disematkan untuk orang yang pulang lepas dari Arab untuk menandai potensi individu tersebut dari beraktivitas yang mencerahkan masyarakat tapi merepotkan pemerintah.

Berbagai kisah dan anekdot bisa dicari tentang fenomena-fenomena di atas. Tiap kisah masing-masing berhak mendapat kajian mendalam. Tiap kisah membawa insight dengan aroma miris karena ke-subordinasi-an dan ketidakmandirian Islam di bawah pemerintah kolonial, yang bukan beragama Islam--Protestan juga abal-abal, yang menggunakan antropologi agama sebagai ranah kekuasaan bukan spiritual.

Tapi setidaknya, institusionalisasi dan akomodasi [parsial] atas aktivitas Islam ini membawa kesadaran elit umat atas kondisi Islam Nusantara dalam rangka global saat itu. Hal ini terus belanjut dan berkembang selama beberapa dekade hingga menjelang Perang Dunia kedua. Mendekati Perang Dunia kedua, aktivitas komunitas Islam semakin terarah ke pergerakan perang kemerdekaan.

One liner shell of the day : #43 (hapus baris yang didahului string tertentu)

sed -i "/url =/d" thesis.bib

 bakal menghapus semua baris yang didahului "url= " dari berkas thesis.bib

Indonesia kok "dangkal"

Tanah air saya, yang saya ingat, adalah negeri yang compassionate.

Saya ingat ada bapak-bapak yang tidak sakit hati saat saya jatuh gedebrak ke pintu  depam kiri mobilnya waktu pedal saya kecantol.

Saya ingat ada mas-mas yang nawarin saya nginep di rumahnya waktu saya ndak pegang duit dan jalan puter2 dekat bandara malam-malam.

Saya ingat ibu-ibu yang masih menjualin saya lepas saya kesandung di etalase tokonya sampai kacanya pedtjah.

Saya ingat ndak bayar ongkos pijet waktu pijet refleksi habis jatuh dari sepeda.

Sungguh saya banyak salah sama orang-orang, tapi kebaikan Beliau-beliau semua is just beyond what your usual pragmatism expects.

Tapi saya nonton komentar manusia Indonesia di dunia maya kok sesek, ya. Mayoritas sumbu pendek, terkesan tidak dalam, membebek, mudah digiring. Kita belum sampai kepada kesimpulan secara bersama, tulisan-tulisan yang disampaikan kok macam ditujukan untuk membuat orang lain sakit hati.

 
macam ini video yang komentarnya saya maksud
 
Fenomena begini tentunya sudah dari dulu ada di masyarakat, semakin dikuatkan dengan kemudahan teknologi informasi sekarang. Saya sungguh menyayangkan keterbukaan informasi ini kok malah membuat manusia Indonesia terkotak-kotak, semakin menjauh dari beranekaragam yang saling melengkapi satu sama lain.
 
Bismillah thok wis, semoga makin ke depan, Indonesia kembali makin dewasa.

Pendidikan Multikultur

Saat mencarikan sekolah SMP buat putrinya yang sulung, Bu Nadia menanyakan tentang suasana multi-kultur di alma mater saya. Pengalaman saya: not so much in terms of actual cultural [identity] diversity, tapi saya yakin bahwa saya termasuk orang yang ndak sakit hati saat berbagai budaya harus campur aduk; entah akulturasi, asimilasi, apropriasi, etc. Saya ndak benar-benar punya teman, tapi sering juga dapat traktiran; entah karena tongkrongan saya melas atau saya sabar mencari traktiran, hehehe.

Saya ingat betul jadi anak bandel dan melakukan berbagai macam kenakalan, utamanya saat di sekolah (namanya juga anak-anak), tapi lingkungan mengakomodasi kenakalan-kenakalan tersebut dengan sabar dan pragmatis. Sungguh bersyukur sudah. Saya ingat betul ketemu teman baru yang punya panggilan Cimeng, yang kemudian saya asal nyablak cino-mengong. Sontak seluruh ruangan (40-50 orang) kaget walau tentunya akronim cimeng tersebut jamak diketahui. Cimeng nampak biasa saja dan sebelum pulang saya menghaturkan maaf sebisanya ke Cimeng; sungguh bukan tidak sensitif, tapi saya pikir karena akronim tersebut sudah jamak; menggiring hadirin ruangan tersebut ke common understanding regarding "cimeng" akan membangun suasanya egaliter dan akrab.

Saya kira pendidikan macam begini yang membuat saya hobi menempatkan diri sebagai least common denominator di sebuah kelompok, dan berharap orang-orang di sekitar yang mengesankan dirinya mau ngertiin berbagai kompleksitas yang terjadi dalam interaksi kita. Apesnya, tentunya tidak semua orang selalu berlapang hati dan punya kapasitas untung ngertiin orang-orang di sekitar. Di sisi lain, teknik ini efektif untuk melihat siapa yang peduli sebenarnya dan compassionate.

Hari ini, sembari baca tulisan Nakaya-sensei tentang pendidikan multikultur dalam konteks pemulihan/rekonsiliasi jangka panjang pasca konflik etnis di Kalimantan Barat di era 2001-an; saya dapati kutipan ini:

Banks identified five dimensions of multicultural education: [1] content integration, [2] knowledge construction, [3] equity pedagogy, [4] prejudice reduction, and [5] school and social structure empowerment.

These dimensions indicate how multicultural education textbooks and teachers integrate multicultural content and help students to understand prejudice construction, authentic culture, social discrimination, and equity among ethnic groups, and thus develop positive racial attitudes.

 Mari kita uraikan kelima dimensi pendidikan multikultur tersebut:

  1. content integration: bagaimana nilai-nilai keberagaman dan universalitas disematkan dalam materi pembelajaran secara efektif;
  2. knowledge construction: bagaimana materi-materi pembelajaran disalingkaitkan menjadi ilmu yang holistik, mencerahkan, dan berguna;
  3. equity pedagogy: semua dapat kesempatan belajar yang bersifat kooperatif (dibanding kompetitif buta) dengan cara individu masing-masing yang bisa jadi sedikit-banyak berbeda;
  4. prejudice reduction: mengurangi kecemburuan/ketidaksukaan terhadap orang lain;
  5. school and social structure empowerment: memberikan kesempatan untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan memangku tanggung jawab [dalam ukuran yang proporsional] dalam kegiatan sekolah dan masyarakat.

Lalu kita cari contoh-contoh penhalaman saya di sekolah:

  1. materi aljabar [Matematika] mengisahkan bagi-bagi roti yang dipotong dengan dimensi yang adil;
  2. Kaidah zakat [PAI] adalah pengejawantahan keadilan sosial [PKn] dari individu yang bertaqwa yang membelanjakan (menginfaqkan) rizki dari Tuhan dengan bijak [Quran/Hadits];
  3. tugas kelompok dan evaluasi yang tidak melulu dengan nilai metrik kognitif terkuantifikasi;
  4. dulu ada kawan yang hobi ngutil jajan dari kantin atau uang jajan dari temen (?, ndak tahu gimana caranya). Selama pelajaran di kelas dia mendapat perlakukan yang hangat dan akrab seperti biasa; tapi setelah beberapa waktu dia kemudian harus pindah sekolah setelah mungkin kasus ngutil yang keberapa kalinya. Selama periode sekolah, saya hobi pulang paling akhir, mengumpulkan pensil, setip, bolpen yang jatuh di bawah meja dan saya kumpulkan dalam kardus Rasanya banyak teman yang tahu kelakukan saya, juga alat tulis tersebut yang sampai sekarang belum habis dipakai dan masih saya simpan.
  5. saya pernah jadi pemandu jalan-jalan pagi waktu acara pondok Ramadhan. Karena saya kurang awas dengan jalan dan kurang kerjaan, rute jalan-jalan pagi yang harusnya cuma ~2,5 km menjadi ~5.5 km. Untung yang ikut kuat-kuat dan ndak batal puasa dan cuma sedikit kontingen yang ikut nyasar. Selepas istirahat jalan-jalan semuanya kembali beraktivitas normal saja.

Buat saya pendidikan multikultur ndak harus berlatar multirasial, atau internasional. Asal tiap siswa diberikan kesempatan buat belajar secara both konfirmatif (mematuhi aturan) dan repatriatif (memperbaiki kesalahan), that is very good already.

 

[not]-One liner shell of the day : #42 (rename massal untuk menambah padding)

for f in *;
do for i in `seq 1 4094`;
do mv -v "$f"/"$f"_"$i".tif "$f"/"$f"_`printf "%04d" $i`.tif;
done;
done;

hasilnya:

renamed 'A10/A10_1.tif' -> 'A10/A10_0001.tif'
renamed 'A10/A10_2.tif' -> 'A10/A10_0002.tif'
...
renamed 'A10/A10_1107.tif' -> 'A10/A10_1107.tif'
renamed 'A10/A10_1108.tif' -> 'A10/A10_1108.tif'
renamed 'A10/A10_1109.tif' -> 'A10/A10_1109.tif'
...

One liner shell of the day : #41 (bunuh program dari cmd)

taskkill /f /im dota2.exe

enough said.

Tuhan tidak perlu sentimen

Tuhan adalah Maha Tahu, sehingga menghimpuni semua pengetahuan dan perasaan. 

Tuhan itu ndak baper, karena berkuasa atas segalanya.

Karena Tuhan Maha Adil, tidaklah usah Tuhan perlu sentimen atas makhluk-Nya.

Pluralisme, dari Islam, di Indonesia

Saya sedari awal kurang setuju dengan definisi "pluralisme" yang dijabarkan di artikel ini. Salah satu definisi yang lebih sekular, ndak baper, berkesan berkecendikiaan; ada yang semacam: paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat dan memperbolehkan kelompok yang berbeda tersebut untuk tetap menjaga keunikan budayanya masing-masing. Menganggap semua agama sama, memadan-madankan tuhan yang satu dan lainnya adalah sinkretisme, bukan pluralisme.

Dalam tataran ketidakagamaan, pluralisme bisa dicontohkan begini: tidak semua mobil di Indonesia harus Xenia walaupun Xenia adalah mobil sejuta umat di Indonesia belakangan ini. Pengguna mobil juga boleh pakai Avanza, Innova, Carry, Hijet, Kijang kapsul 1990, Civic Fiero 1997, truk Hino, dan lain sebagainya. Bahkan ada yang tidak punya mobil, naik sepeda, jalan kaki, pakai angkot/bus.Tentunya tiap kendaraan punya spesifikasi masing-masing, efisiensi dan dan kenyamanan yang berbeda-beda, ukuran mesin yang berbeda, dan berbagai perbedaan lainnya. 

Dalam tataran keagamaan, kita bisa contohkan pluralisme: masing-masing umat yang bertindak baik (dalam koridor agamanya masing-masing) laiknya diberi imbalan yang baik oleh tuhannya masing-masing; sementara kita tidak bisa langsung membuktikan ketidakabsahan imbalan dari Tuhan tersebut; atau bagaimana keberadaan Tuhan sendiri. 

Tapi, mengutip Kakak saya: bahwa kasih sayang yang luhur pada saudara yang berlainan iman adalah menunjukinya jalan yang kita bersama-yakini benar. Tentunya bukan persuasi yang mudah.