One liner shell of the day : #47 (hapus folder kosong)

 Ceritanya habis ngerapikan backup sana-sini dan hapus file duplikat depan fdupes. Lepas itu banyak folder kosong secara isinya kembaran dan sudah dihapus.

Cara hapus folder kosong:

find /path/to/dir -empty -type d -delete

musik Indonesia

Ghea Indrawari yang Kangen-nya sungguh menyentuh bisa aja ndak lulus.

Ini antara budaya menulis di Indonesia kelewat kritis, manajemen artis yang kelewat nyuruh rekaman/konser terus, lingkup akademis yang kurang dinamis, atau memang Indonesia ini ndak ngerti musik?

Dilihat dari SKS yang sudah ditempuh, nampaknya coursework Ghea sudah selesai (bisa jadi ada mata kuliah yang lulus tidak optimal, sih). Ada beberapa mata kuliah yang hendak diulang dan skripsi yang tidak kunjung sidang.

Tapi begini, zaman Mbah Raden Koesbini musik bisa ditulis yang sesuai dengan konteks sosial saat itu, menggugah hati, dan masyarat ngerti. Di samping itu Beliau juga ngajar di (proto)- ISI Jogja dan sanggar olah seni di tempat sendiri, ada siswanya yang belajar di situ dalam kerangka pendidikan formal. Beliau juga nulis buku sebagai outlet kecendikiaan, masih tetap nulis lagu dan tampil juga sebagai outlet artistik Beliau.

Cerita Ghea ini sangat disayangkan sekali. Musik yang dia nyanyikan, orang Indonesia ngerti dan suka. Sakjane mung kari nulis wae paling. Kalau karya dia direkam dalam korpus pendidikan, paling tidak generasi penggiat seni di esok hari bisa menilik kembali karya manusia Indonesia tentang seni musik ini. Bisa menginspirasi dengan model rujukan yang punya rekam kepustakaan. Lek ngene, paling cuma kita cuma bisa dengerin Ghea di Youtube, Spotify, Soundcloud. Kalau service-nya sudah ndak rame, pudar nanti. Semuanya bakal pudar, sih. Tapi agak sedih juga kalau semuanya sekadar kontemporer.

Walaupun kembali gini juga ndak bisa dipaksa. Kendala kuartet-partit uang-bakat-minat-kontrubusi (ala Ikigai) yang dialami Ghea waktu kuliah ya ndak semudah saya nulis tulisan ini bisa diselesaikan.

macak ngerti nihonggo

橋は場所をつなぎ、思いやりは人をつなぐ。

Andang Bachtiar dan Penyelaras: Ngalam Apa Kabar?


Bait pertama dari liriknya bilang (saya tambahi sisipan iseng-iseng supaya tiap baris semakin harmonis dalam kalimat kompleks):

Ini kota limpahan cinta

[berbentuk] breksi, lava, pasir, dan tuffa

[yang] lapuk luruh menjadi tanah

[di?] dataran tinggi subur merekah

Kalau pengaruh geologis bisa [dibuktikan] meninggalkan kesan etno-sosio-psikologis;  terjepitnya Malang di antara pegunungan Jawa Timur membuat bentuk kasih sayang yang sesekali meletup kemudian diiringi proses peluruhan (kontemplasi) yang jauh lebih panjang. Barulah kemudian kebaikan/kesuburan bisa kita tuai.

Ada bait kemudian:

Di sini Mala angkusa Iswara

Di sini Angkara dihancurkan Kuasa

Keburukan/kebengisan/kejahatan dihancurkan/dimusnahkan dengan/oleh Ketuhanan/kekuasaan. Manifestasi harmoni dalam framework Malang adalah kekuasaan yang bisa sewenang-wenang menghancurkan keburukan. Di Singasari (Malang), Shiva adalah Bathara Guru. Kebijaksanaan dirupakan menjadi penghapusan hal-hal yang tidak pantas lagi eksis, kebaikan bukan (cuma) tentang cipta dan nurture, tapi acap kali juga tetang kehilangan dan eksterminasi. Terdengar sadis? Sejatinya ini semua alami, kok.

Nah, bagaimana mengidentifikasi mala/angkara dan tidak asal main jadi kuasa/iswara ini yang perlu didalami manusia yang di dalam gennya terpercik sequence ke-Malang-an; sejatinya kita semua, sih.


ndak mau rugi

 إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ