One liner shell of the day : #43 (hapus baris yang didahului string tertentu)

sed -i "/url =/d" thesis.bib

 bakal menghapus semua baris yang didahului "url= " dari berkas thesis.bib

Indonesia kok "dangkal"

Tanah air saya, yang saya ingat, adalah negeri yang compassionate.

Saya ingat ada bapak-bapak yang tidak sakit hati saat saya jatuh gedebrak ke pintu  depam kiri mobilnya waktu pedal saya kecantol.

Saya ingat ada mas-mas yang nawarin saya nginep di rumahnya waktu saya ndak pegang duit dan jalan puter2 dekat bandara malam-malam.

Saya ingat ibu-ibu yang masih menjualin saya lepas saya kesandung di etalase tokonya sampai kacanya pedtjah.

Saya ingat ndak bayar ongkos pijet waktu pijet refleksi habis jatuh dari sepeda.

Sungguh saya banyak salah sama orang-orang, tapi kebaikan Beliau-beliau semua is just beyond what your usual pragmatism expects.

Tapi saya nonton komentar manusia Indonesia di dunia maya kok sesek, ya. Mayoritas sumbu pendek, terkesan tidak dalam, membebek, mudah digiring. Kita belum sampai kepada kesimpulan secara bersama, tulisan-tulisan yang disampaikan kok macam ditujukan untuk membuat orang lain sakit hati.

 
macam ini video yang komentarnya saya maksud
 
Fenomena begini tentunya sudah dari dulu ada di masyarakat, semakin dikuatkan dengan kemudahan teknologi informasi sekarang. Saya sungguh menyayangkan keterbukaan informasi ini kok malah membuat manusia Indonesia terkotak-kotak, semakin menjauh dari beranekaragam yang saling melengkapi satu sama lain.
 
Bismillah thok wis, semoga makin ke depan, Indonesia kembali makin dewasa.

Pendidikan Multikultur

Saat mencarikan sekolah SMP buat putrinya yang sulung, Bu Nadia menanyakan tentang suasana multi-kultur di alma mater saya. Pengalaman saya: not so much in terms of actual cultural [identity] diversity, tapi saya yakin bahwa saya termasuk orang yang ndak sakit hati saat berbagai budaya harus campur aduk; entah akulturasi, asimilasi, apropriasi, etc. Saya ndak benar-benar punya teman, tapi sering juga dapat traktiran; entah karena tongkrongan saya melas atau saya sabar mencari traktiran, hehehe.

Saya ingat betul jadi anak bandel dan melakukan berbagai macam kenakalan, utamanya saat di sekolah (namanya juga anak-anak), tapi lingkungan mengakomodasi kenakalan-kenakalan tersebut dengan sabar dan pragmatis. Sungguh bersyukur sudah. Saya ingat betul ketemu teman baru yang punya panggilan Cimeng, yang kemudian saya asal nyablak cino-mengong. Sontak seluruh ruangan (40-50 orang) kaget walau tentunya akronim cimeng tersebut jamak diketahui. Cimeng nampak biasa saja dan sebelum pulang saya menghaturkan maaf sebisanya ke Cimeng; sungguh bukan tidak sensitif, tapi saya pikir karena akronim tersebut sudah jamak; menggiring hadirin ruangan tersebut ke common understanding regarding "cimeng" akan membangun suasanya egaliter dan akrab.

Saya kira pendidikan macam begini yang membuat saya hobi menempatkan diri sebagai least common denominator di sebuah kelompok, dan berharap orang-orang di sekitar yang mengesankan dirinya mau ngertiin berbagai kompleksitas yang terjadi dalam interaksi kita. Apesnya, tentunya tidak semua orang selalu berlapang hati dan punya kapasitas untung ngertiin orang-orang di sekitar. Di sisi lain, teknik ini efektif untuk melihat siapa yang peduli sebenarnya dan compassionate.

Hari ini, sembari baca tulisan Nakaya-sensei tentang pendidikan multikultur dalam konteks pemulihan/rekonsiliasi jangka panjang pasca konflik etnis di Kalimantan Barat di era 2001-an; saya dapati kutipan ini:

Banks identified five dimensions of multicultural education: [1] content integration, [2] knowledge construction, [3] equity pedagogy, [4] prejudice reduction, and [5] school and social structure empowerment.

These dimensions indicate how multicultural education textbooks and teachers integrate multicultural content and help students to understand prejudice construction, authentic culture, social discrimination, and equity among ethnic groups, and thus develop positive racial attitudes.

 Mari kita uraikan kelima dimensi pendidikan multikultur tersebut:

  1. content integration: bagaimana nilai-nilai keberagaman dan universalitas disematkan dalam materi pembelajaran secara efektif;
  2. knowledge construction: bagaimana materi-materi pembelajaran disalingkaitkan menjadi ilmu yang holistik, mencerahkan, dan berguna;
  3. equity pedagogy: semua dapat kesempatan belajar yang bersifat kooperatif (dibanding kompetitif buta) dengan cara individu masing-masing yang bisa jadi sedikit-banyak berbeda;
  4. prejudice reduction: mengurangi kecemburuan/ketidaksukaan terhadap orang lain;
  5. school and social structure empowerment: memberikan kesempatan untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan memangku tanggung jawab [dalam ukuran yang proporsional] dalam kegiatan sekolah dan masyarakat.

Lalu kita cari contoh-contoh penhalaman saya di sekolah:

  1. materi aljabar [Matematika] mengisahkan bagi-bagi roti yang dipotong dengan dimensi yang adil;
  2. Kaidah zakat [PAI] adalah pengejawantahan keadilan sosial [PKn] dari individu yang bertaqwa yang membelanjakan (menginfaqkan) rizki dari Tuhan dengan bijak [Quran/Hadits];
  3. tugas kelompok dan evaluasi yang tidak melulu dengan nilai metrik kognitif terkuantifikasi;
  4. dulu ada kawan yang hobi ngutil jajan dari kantin atau uang jajan dari temen (?, ndak tahu gimana caranya). Selama pelajaran di kelas dia mendapat perlakukan yang hangat dan akrab seperti biasa; tapi setelah beberapa waktu dia kemudian harus pindah sekolah setelah mungkin kasus ngutil yang keberapa kalinya. Selama periode sekolah, saya hobi pulang paling akhir, mengumpulkan pensil, setip, bolpen yang jatuh di bawah meja dan saya kumpulkan dalam kardus Rasanya banyak teman yang tahu kelakukan saya, juga alat tulis tersebut yang sampai sekarang belum habis dipakai dan masih saya simpan.
  5. saya pernah jadi pemandu jalan-jalan pagi waktu acara pondok Ramadhan. Karena saya kurang awas dengan jalan dan kurang kerjaan, rute jalan-jalan pagi yang harusnya cuma ~2,5 km menjadi ~5.5 km. Untung yang ikut kuat-kuat dan ndak batal puasa dan cuma sedikit kontingen yang ikut nyasar. Selepas istirahat jalan-jalan semuanya kembali beraktivitas normal saja.

Buat saya pendidikan multikultur ndak harus berlatar multirasial, atau internasional. Asal tiap siswa diberikan kesempatan buat belajar secara both konfirmatif (mematuhi aturan) dan repatriatif (memperbaiki kesalahan), that is very good already.