Andang Bachtiar dan Penyelaras: Ngalam Apa Kabar?


Bait pertama dari liriknya bilang (saya tambahi sisipan iseng-iseng supaya tiap baris semakin harmonis dalam kalimat kompleks):

Ini kota limpahan cinta

[berbentuk] breksi, lava, pasir, dan tuffa

[yang] lapuk luruh menjadi tanah

[di?] dataran tinggi subur merekah

Kalau pengaruh geologis bisa [dibuktikan] meninggalkan kesan etno-sosio-psikologis;  terjepitnya Malang di antara pegunungan Jawa Timur membuat bentuk kasih sayang yang sesekali meletup kemudian diiringi proses peluruhan (kontemplasi) yang jauh lebih panjang. Barulah kemudian kebaikan/kesuburan bisa kita tuai.

Ada bait kemudian:

Di sini Mala angkusa Iswara

Di sini Angkara dihancurkan Kuasa

Keburukan/kebengisan/kejahatan dihancurkan/dimusnahkan dengan/oleh Ketuhanan/kekuasaan. Manifestasi harmoni dalam framework Malang adalah kekuasaan yang bisa sewenang-wenang menghancurkan keburukan. Di Singasari (Malang), Shiva adalah Bathara Guru. Kebijaksanaan dirupakan menjadi penghapusan hal-hal yang tidak pantas lagi eksis, kebaikan bukan (cuma) tentang cipta dan nurture, tapi acap kali juga tetang kehilangan dan eksterminasi. Terdengar sadis? Sejatinya ini semua alami, kok.

Nah, bagaimana mengidentifikasi mala/angkara dan tidak asal main jadi kuasa/iswara ini yang perlu didalami manusia yang di dalam gennya terpercik sequence ke-Malang-an; sejatinya kita semua, sih.