Pluralisme, dari Islam, di Indonesia

Saya sedari awal kurang setuju dengan definisi "pluralisme" yang dijabarkan di artikel ini. Salah satu definisi yang lebih sekular, ndak baper, berkesan berkecendikiaan; ada yang semacam: paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat dan memperbolehkan kelompok yang berbeda tersebut untuk tetap menjaga keunikan budayanya masing-masing. Menganggap semua agama sama, memadan-madankan tuhan yang satu dan lainnya adalah sinkretisme, bukan pluralisme.

Dalam tataran ketidakagamaan, pluralisme bisa dicontohkan begini: tidak semua mobil di Indonesia harus Xenia walaupun Xenia adalah mobil sejuta umat di Indonesia belakangan ini. Pengguna mobil juga boleh pakai Avanza, Innova, Carry, Hijet, Kijang kapsul 1990, Civic Fiero 1997, truk Hino, dan lain sebagainya. Bahkan ada yang tidak punya mobil, naik sepeda, jalan kaki, pakai angkot/bus.Tentunya tiap kendaraan punya spesifikasi masing-masing, efisiensi dan dan kenyamanan yang berbeda-beda, ukuran mesin yang berbeda, dan berbagai perbedaan lainnya. 

Dalam tataran keagamaan, kita bisa contohkan pluralisme: masing-masing umat yang bertindak baik (dalam koridor agamanya masing-masing) laiknya diberi imbalan yang baik oleh tuhannya masing-masing; sementara kita tidak bisa langsung membuktikan ketidakabsahan imbalan dari Tuhan tersebut; atau bagaimana keberadaan Tuhan sendiri. 

Tapi, mengutip Kakak saya: bahwa kasih sayang yang luhur pada saudara yang berlainan iman adalah menunjukinya jalan yang kita bersama-yakini benar. Tentunya bukan persuasi yang mudah.